Di tengah malam yang sunyi, di Gua Hira, Rasulullah ﷺ gemetar. Tubuhnya menggigil, bukan karena dingin, tapi karena wahyu pertama baru saja turun. Malaikat Jibril datang membawa firman Allah, dan dunia berubah selamanya. Tapi saat beliau turun dari gunung, bukan umat yang menyambutnya. Bukan sahabat, bukan kaum Quraisy. Yang menyambutnya adalah seorang perempuan: Khadijah binti Khuwailid r.a.
Ia memeluk Nabi ﷺ dan berkata,
“كَلَّا، وَاللَّهِ، لاَ يُخْزِيكَ اللَّهُ أَبَدًا…”
“Tidak, demi Allah, Allah tidak akan menghinakanmu selamanya…” (HR. Muslim no. 160)
Ia menyebut satu per satu kebaikan suaminya: menyambung silaturahmi, menolong orang lemah, memberi kepada yang tak punya, dan menanggung beban orang lain. Kata-kata itu bukan sekadar hiburan. Itu adalah air pertama yang mengalir untuk dakwah. Air yang menenangkan, menguatkan, dan menyuburkan keyakinan.
Khadijah bukan hanya istri. Ia adalah pelipur lara, pelindung ruhani, dan penyokong perjuangan. Ketika semua menolak, ia percaya. Ketika semua menjauh, ia mendekat. Ketika semua mencaci, ia membiayai. Rumahnya menjadi tempat turunnya wahyu pertama. Hartanya menjadi modal dakwah pertama. Doanya menjadi pelindung pertama.
Ia menjual perhiasan, menghabiskan tabungan, dan menyerahkan seluruh kekayaannya untuk Islam. Ia tidak bertanya kapan akan kembali. Ia hanya bertanya, “Apa lagi yang bisa aku bantu?”
Rasulullah ﷺ tidak pernah melupakan Khadijah. Bahkan bertahun-tahun setelah wafatnya, beliau masih menyebut namanya, menangis saat melihat sahabat lamanya, dan mengirim hadiah kepada kerabatnya. Aisyah r.a. berkata dengan cemburu,
“ما غِرتُ على أحدٍ من نساءِ النبيِّ ﷺ ما غِرتُ على خديجةَ…”
“Aku tidak pernah cemburu kepada istri-istri Nabi ﷺ seperti aku cemburu kepada Khadijah…” (HR. Bukhari no. 3817)
Karena cinta Khadijah bukan sekadar cinta rumah tangga. Itu adalah cinta dalam perjuangan. Cinta yang mengalir seperti air, dan air itu tak pernah kering.